..........
Saya terus menjelaskan dengan semangatnya ke-17 pupuh itu. Kedua juri itu sesekali tersenyum mungkin saya terlalu cerewet atau apa. Wallohu'alam. Sampai akhirnya, beliau menyuruhku memainkan kecapi. Kumainkan kecapi tua itu, dan kunyanyikan lagu Pahlawan Toha. Sang juri manggut-manggut mendengar alunan kecapi dan lagu yang penuh nilai perjuangan itu.
Tiba saatnya saya berangkat ke Kabupaten Tasikmalaya untuk mengikuti perlombaan Baca Puisi dalam rangka Porseni tingkat SD. Lagi-lagi saya menjadi kontestan termuda saat itu. Sebelum masuk ke arena lomba, Kakek Juhria, yang saat itu mengantarku, memberikan mantra yang amat sangat tidak manusiawi, tapi ajaib. "Teh, anggap aja juri-juri itu monyet. Jadi Teteh ga akan gugup". Lalu dengan tingkat pede yang mencapai rating 9 IMDb, saya memasuki ruangan dan mendeklamasikan puisi dengan suara lantang. Saya tidak gugup sama sekali. Saya hanya melihat 3 ekor monyet mencatat sesuatu di secarik kertas sambil sesekali menatap ke arahku.
Sekitar 2 jam kami menunggu hasil. Akhirnya seorang Bapak bertubuh bulat naik ke atas podium dan mengumumkan hasil perlombaan. Saya berhasil meraih Juara 3 Baca Puisi Tingkat Kabupaten Tasikmalaya. Saya sangat bahagia. Kupegang piala itu tinggi-tinggi. Tak sabar rasanya memamerkannya kepada semua kawan dan guruku dan memajangnya di lemari kebanggaan sekolah.Kutatap wajah Kakeku. Berseri-seri penuh keriangan, keriputnya sangat jelas terlihat, tapi tetap Kakek keliatan sangat gagah.
3 tahun berlalu, saya menginjak kelas 5 saat itu. Seperti biasa, saya menjadi langganan kontestan berbagai perlombaan. Puncaknya, saya dan teman saya Gilang Akbar Darwita menjadi perwakilan Kecamatan Cikalong untuk mengikuti Pemilihan Murid Teladan Tingkat Kabupaten Tasikmalaya. Kami sangat bahagia kala itu. Kami berlatih setiap hari. Pak Dedi dkk mengajariku semua mata pelajaran dengan penuh kesabaran. Kami tidak peduli pulang paling sore. Kami hanya ingin jadi juara.
Selain mata pelajaran, kami pun harus menguasai salah satu alat musik. Guru-guru di sekolah memutuskan kalau saya harus memainkan kecapi. Tidak terlalu memusingkan buat saya karena Apa pandai bermain kecapi sambil bernyayi lagu Sunda. Saya bawa kecapi tua itu ke rumah. Apa mengajariku dengan telaten. Sesekali saya mengeluh karena jari-jariku sakit terkena senar yang tajam. Tapi semuanya dilewati dengan penuh semangat. Setelah sekitar seminggu berlatih, saya sudah bisa memainkannya sambil menyanyikan lagu Pahlawan Toha. Sungguh senang rasanya bisa unjuk gigi di depan kawan-kawan sekelasku.
Tibalah saatnya hari yang ditungu-tunggu itu, kami berangkat ke Kabupaten Tasikmalaya. Disana saya bertemu dengan kontestan dari SD kota. Mereka sangat elegan dan perlente. Begitu juga guru-guru yang mengantarnya. Beberapa dari mereka memandang kami dengan tatapan nyinyir. Mungkin kami tidak cukup kinclong untuk ukuran anak kota. Mereka tidak tahu saja kalau saya dan Gilang itu pasangan paling kece di Desa Cibeber.
Hari itu, kami mengikuti tes tulis berbagai macam mata pelajaran. Setelah istirahat sekitar 1 jam, tibalah saatnya untuk tes wawancara dan kesenian. Kulihat beberapa kontestan memasuki ruangan dan memainkan alat musik yang dibawanya. Seorang kontestan puteri, yang empat tahun kemudian saya kenal namanya Rizki Hapsari Nugraha memainkan piano dengan hebatnya. Sebagian dari mereka tak seorang pun memainkan alat musik tradisional. Saya mulai minder dengan apa yang akan kutunjukan. Lalu kulihat Apa dengan wajah penuh senyum mengintip dari balik jendela ruangan sambil menunjukan mimik yang kalau saya tafsirkan seperti ingin berkata "Ayo Teh, tunjukan, Teteh, anak Apa paling hebat." Seketika semangat itu menjalar ke seluruh tubuhku. Tak peduli lagi seberapa mengkilap piano yang mereka mainkan, dan seberapa lusuh kecapi yang kutenteng ini.
"Martina dari SD Cibeber I" panggil seorang Juri. Saya pun beranjak dan berdiri di depan kedua juri itu. Tangan mungilku menjinjing kecapi tua yang hampir sebesar diriku. "Silahkan duduk." kata mereka berdua. Saya duduk dan menyimpan kecapi di meja sebelah juri. Mereka menanyakan banyak sekali pertanyaan. Hanya dua pertanyaan yang masih saya ingat.
Juri : "Pupuh Sunda itu emang ada berapa?"
Saya : "Ada 17 Pak, ada singkatannya lho Pak, biar Bapak ingat terus" (ucapku dengan sotoynya :-D)
Juri : Wah, masa? Cobaaa Bapak pengen tahu." (sambil tersenyum lebar penuh akting)
Saya : "Mamawigabajulalakidasiaskipadupumi" (mengucapkan tanpa menghela nafas")
Ma = Magatru, Ma = Maskumambang, Wi = Wirangrong,..........
Saya terus menjelaskan dengan semangatnya ke-17 pupuh itu. Kedua juri itu sesekali tersenyum mungkin saya terlalu cerewet atau apa. Wallohu'alam. Sampai akhirnya, beliau menyuruhku memainkan kecapi. Kumainkan kecapi tua itu, dan kunyanyikan lagu Pahlawan Toha. Sang juri manggut-manggut mendengar alunan kecapi dan lagu yang penuh nilai perjuangan itu.
Akhirnya perlombaan pun usai. Tiba saatnya pengumuman kejuaraan. Saya memegang tangan Apa erat-erat. Kudengar baik-baik pengumuman itu, barangkali namaku disebut. Sampai juara ke-3 diumumkan, namaku tak kunjung dipanggil. Saya ingin sekali menangis. Saya sudah mengecewakan Apa dan guru-guru. Pikirku kala itu. Masih kudengar sayup sayup juri mengumumkan juara ke-2. Saya sudah hampir kehilangan harap. Suara pemberi pengumuman semakin meninggi dan mendebarkan kami semua.
"Daaaan, juara ke 1 Murid Teladan Tingkat Kabupaten Tasikmalaya diraih oleh .............................................................. Martina Herawatiningsih dari SD Cibeber I Kecamatan Cikalong."
Sontak, Apa dan guru-guru memeluku erat. Kulihat mata Apa berkaca-kaca. Saya tak tahan menatapnya lama-lama. Saya pun menuju podium kejuaraan. Salah seorang Ibu berambut pendek pemberi piala berbisik kepadaku. "Cantik ih, mirip Rosalinda". Sampai sekarang kalimat itu masih terngiang di telingaku. 2 tahun kemudian saya baru tahu Rosalinda itu siapa setelah Bibi membeli TV berwarna dan memasang antena parabola.
To be continued..........