Thursday 11 November 2010

3 Episode Terbaik Kalifa

Namaku Kalifa. Usiaku hampir 23 tahun. Aku punya tiga episode hidup yang paling indah. Selebihnya, …….


Episode 1
Dia tak hentinya berceloteh tentang kaki bukit seberang sungai besar. Katanya, dia pernah camping di bukit itu. Telunjuknya lentik sekali menuding segerombolan semak yang kabur oleh gerimis malam. Jemarinya yang lain sibuk menunjuk kaki Gunung Slamet. “Kamu tahu, Kalif, itu gunung pertama yang berhasil aku daki” katanya dengan pongah. Seperti biasa, dagunya otomatis terangkat 10 cm. Ah, menarik sekali dia. Tapi kali ini, dia lebih mirip Ngko-ngko tukang DVD yang mengacung-ngacungkan semua jarinya, menyuruh semua kacung melayani pelanggan yang sedang membludak. Kubiarkan saja dia bernarasi dengan indah tentang alam sahabatnya, tentang rimba, jubah kehormatannya. Tak sekalipun aku berani pejamkan mata. Aku tidak ingin melewatkan ekspresinya yang kadang ngocol bak  wayang OVJ, Sule lebih tepatnya. Dia terus bercerita, dan aku terus menatapnya.  “Kalif, kamu tau, kalau siang, kaki gunung Slamet itu saaaangat indah.” gumamnya lagi dengan nada semakin antusias. “Oh Tuhan, dia masih ceramah tentang gunung”, bisikku dalam hati. Tak berlebihan rasanya kalo disejajarkan dengan Jimbron yang sangat antusias kalau bicara tentang kuda. Tapi tak      apa, aku sungguh senang mendengarkan ceritanya meski seringkali dia lebih mirip anak kecil yang memamerkan loli keluaran baru. Matanya sangat berbinar, seolah-olah ingin berkoar “Kalif, cowok di samping kamu ini, sungguh sangat hebat, tiada duanya.” Ajaib, dia berhasil membuatku sependapat dengan koaran matanya itu.


Episode 2
Migrain level akut mengintaiku sejak perjalanan 200 km tadi pagi. Aku merasa sangat kacau. Kepalaku pening, panas tiada taranya. Ingin rasanya memiliki kepala portable. Biar pas migrain, bisa disimpan dulu di lemari es. Ketika aku kesibukan dengan peningku yang menjadi, dia mendekatiku, menidurkan kepalaku diatas pahanya, lalu memijat dahiku dengan lembut. Tiba-tiba, aku seperti melihat ibuku menidurkanku dipahanya yang selembut payudaranya. Dia seperti ibuku. Sangat lembut. Tak apa rasanya migrenku bersarang semalaman, asal aku tertidur di pangkuannya.




Episode 3
Kali ini, dia bersemangat sekali bercerita tentang masa kelam SMAnya. Malam itu, menjadi malam pengakuan buatnya, karena ternyata dia cukup ahli dalam hal mendapatkan info Ujian Akhir Nasional dan juga ujian-ujian lainnya. Dalihnya cukup simpel, kalau dia ngaku sejak dulu, aku pasti memarahinya. Maklum, aku akan sangat geram kalau dia ketahuan mencontek LKS orang. Tapi malam itu, aku sama sekali tak ingin marah, karena dia lebih dulu mengecup dahiku sebelum aku mengambil oktaf paling tinggi untuk mengomelinya. Pintar sekali dia, tak hanya dalam hal mencari info tapi juga pintar menyihir orang.


Episode 4
Aku akhirnya harus pulang, semuanya sudah berakhir. Semuanya. Berat rasanya, tapi aku lega. Setidaknya, aku bukan lagi benalu bagi siapapun. Hari ini, hari terakhir aku merasa seperti memilikinya. Selebihnya, aku tidak tahu. Aku hanya ingin berlari sejauh mungkin. Sejauh mungkin. Tanpa pernah menoleh lagi  ke arahnya, karena itu pasti membuatku berubah pikiran. Membuatku ingin berlari lagi memeluknya.


Inilah hidupku,
Selebihnya,….. aku merasa tawar.

No comments:

Post a Comment