Thursday 11 November 2010

Edelweis Ungu

Seperti penjagal nyawa,
Waktu menjadi sangat kejam pada kita.
Dia pisahkan dua raga yang sesungguhnya satu.
Dia curi bahumu yang tengah kusandari.
Dia hentikan lantunan lantang sang Shakespeare.
Dia menghunus saat rinduku beranak pinak.

Sungguh, tak ada yang lebih menyesakkan dari perpisahan,

Rasaku koyak, saat jemarimu harus usai menggenggamku.
Saat aku harus beranjak dari dadamu yang bidang.
Rasaku cabik, saat aku harus menahan riap air di mataku.
Aku hanya berpura kuat.
Aku hanya tak ingin menangis didepanmu.
Karena itu pasti membuatmu berlari menjauhiku lagi.

Tatkala hidup hanya punya dua rumus, sua dan pisah,

Hari pun beringsut tua,
Tapi, percayalah, aku tak akan lelah mengeja asa.
Karena rinduku tak selekas senja,
tak sedangkal langit pada cermin air.
Dia kekal pada kedalaman yang kita sebut hati.
Walau terlahir, dia tak akan pernah berakhir.
Layaknya anak sungai yang selamanya menyusu pada muara.
Layaknya pendaki yang tak henti mengecup gunung.
Adakah yang lebih abadi dari rinduku?
Adakah yang lebih manis dari rasa liurmu?

Aku pikir, tidak ada.

Karena telah kurangkum senyummu dalam sebait do'a.
Kutabur mimpimu diatas salju Mount Blanc
Kukemasi ranum matamu pada setangkai bunga liar,
bunga yang tak hentinya kau puja,
Edelweis Ungu.



(Sehari sebelum Ramadhan,

Untuk kau yang jemarinya bertahi lalat, Jemari yang kelak menaklukan Mount Blanc.)

1 comment: