Thursday 11 November 2010

Jelaga

Pada malam keseribu, rindu si paras mawar meliar. Asanya beterbangan menyusupi kuncup yang masih lelap. Ruap aromanya tak henti berdansa pada tebing-tebing senyap. Kini, penanantiannya telah berwujud badai. Meronta, melumat sepi yang tak punah.


Pada malam keseribu, si paras mawar pun mendatangi sang bulan, kekasihnya. Di pucuk cemara kembar, sang bulan telah menanti. Wajahnya mengabarkan rindu yang juga tumpah pada sang mawar. Kedua tangannya ia rentangkan, bersiap memeluk gadisnya. Belum juga ia kecupi wangi sang mawar, jelaga yang juga berwujud badai berdiri dengan angkuhnya. Ia hardik sang mawar dan menyuruhnya enyah dari sang bulan. Seperti malam, sang jelaga pun kian menghitam, mengaburkan sinar sang bulan.Hingga akhirnya sang mawar tidak lagi melihat sisa paras kekasihnya.


Sang mawar pun kembali ke bumi menjadi paras yang layu.
Pada tangannya, masih ia genggam, sepaket pelukan yang tak sempat ia berikan pada sang bulan.

No comments:

Post a Comment