Thursday 11 November 2010

Piatu



Di saung kecil, kita memandang lenggang sang kereta
Gemeretak gerbongnya sesekali berbalas laungan hati yang piatu
Entah berapa lama kita mengikuti putaran roda-rodanya yang kecil
Seperti anak panah, sang kereta pun melesat mengejar kota
Meninggalkan kita yang membatu
Hingga erangannya raib, kita masih tak berbalas pandang
Kesunyian adalah bahasa kita dan keheningan adalah sandinya.

Di saung kecil, mata kita karam pada sebatang ilalang yang mengering
Seketika, kita teringat pada ikan yang berenang lincah, pada kalajengking yang mengutuk hujan.
Apa mereka masih saling berbisik?
Seperti Romeo pada Juliet
Seperti lelaki pada perawannya.
Apa mereka masih saling bercerita?
Seperti awan pada hujan
Seperti leluhur pada penerusnya
Atau mereka masih menunggu kita mendatanginya lagi?
Seperti bumi yang menunggu pinangan langit.

Kelak, saat ilalang itu berbunga.
Kita akan bertukar senyum.
Tangan kita akan sangat erat menggenggam.
Dan aku, akan menjadi pelangi di langitmu yang perak.
Atau menjelma menjadi kupu-kupu yang bermain di matamu.


(Tasikmalaya, 19 Juli 2010
Tercipta ketika kita menyerah pada rindu yang membuncah)

No comments:

Post a Comment