Thursday 11 November 2010

DOORMAT

Malam itu, aku pulang menyusuri Jl. Malioboro yang temaram nan kusut.  Kulihat beberapa tukang becak  masih bertahan di pinggiran toko souvenir. Miris rasanya, melihat wajah legamnya berkilauan oleh peluh. Lampu billboard sesekali memantulkan tetes keringatnya yang berguliran bak kristal. Angin perlahan menebarkan aroma apek handuk leher andalan mereka. Biarpun rumor yang beredar mereka terkenal suka menjebak pelancong dari luar kota dengan membawanya berputar-putar lalu meminta bayaran double, melihatnya sekarang, aku sangat bisa memaklumimya.

Pada sudut jalan yang lain, satu-satunya penjual koin antik tengah mengipas-ngipaskan beberapa lembar uang ribuan yang sudah dekil karena dihitung berulang kali. Ia tampak tersenyum bahagia, giginya yang tanggal sangat jelas terexposed. Seksi sekali. Aku jadi ingin menafsirkan senyumnya. Barangkali begini makna senyuman mautnya itu, “Alhamdulillaaah, aku masih bisa membelikan cucuku permen sugus kesukaannya” Ah, sederhana sekali dia. Tapi sungguh, dia sangat bersyukur.

Tak terasa, aku sudah melewati lebih dari belasan ruko yang tengah lelap beristirahat. Penat mulai mengunjungiku kepalaku. “Sialan, sebentar lagi migren mengetuk-ngetuk pintu syarafku.” gumamku pelan sekali.   Kupijit-pijit dahiku, berharap migren mengurungkan niatnya berkunjung. Sudah muak rasanya menjadi pribumi tetapnya. Hari pertama menjadi penjaga toko batik tulis sungguh membuatku lelah setengah mati. Bukan karena banyaknya pelanggan yang harus aku layani, tapi karena teriakan bosku yang separuhnya tak ku pahami sedikitpun. Maklum saja, dia hanya paham bahasa Jawa. Begitu kata senior-seniorku.

Masuk ke pertigaan Jalan Ahmad Yani No. 9. , seberang Toko Batik Mirota, hujan mulai turun perlahan-lahan. Seperti biasa, mereka selalu datang keroyokan. Aku mempercepat langkahku menuju ujung toko berterpal lebar. Semakin dekat dengan toko itu, sayup sayup  kudengar suara tinggi seorang wanita. Dari nadanya, dia tengah memarahi seseorang. Penasaran. Kucari sumber suara, tak dinyana, seorang wanita seusiaku tengah mengacung-ngacungkan jarinya yang sebagian besar kuteknya pudar. Sedang berkampanyekah dia? Tentu saja bukan. Dia tengah memarahi habis-habisan seorang pria TUNADAYA. Jemarinya menunjuk-nunjuk langit, meski sebenarnya dia tengah mencaci penghuni bumi.  

“Kasian, pria itu,…..” bisikku pelan sekali.

Kugigit kuku jempolku kuat-kuat. Ingin sekali menolong lelaki itu. Tapi aku hanya bisa mengendap-endap di balik kardus bekas pedagang manisan asong.

“Aryo,…..tau kamu, ini jam berapa?.....telat 1 jam kamu jemput aku… Lihat…gara-gara kamu kelamaan, jadinya hujan…lama lagi nunggu redanya…Mau pulang jam berapa aku,….udah ngantuk tau..ogah tiduran di emper, kaya gembel….” teriak sang wanita. Hebat sekali dia, suaranya lantang seperti Pak Karno, padanan katanya sangat bombastis seperti komentator bola. Mungkin , kalau dia ikut pencarian bakat, dia dipastikan mendapat piala sebagai Juara Umum Pengoceh Ulung.

Tak terasa, aura komentatornya sekejap menulariku. “Uuuuh…galak sekali dia,…..tapi agak bodoh juga si,  masa hujan disebabkan oleh telat jemput, oleh kondensasi awan ,tau. Awan Cumuliform lebih tepatnya.Gini-gini juga, nilai IPA ku 9 terus, meski yang lainnya 6 kebawah.” Kurapatkan telingaku, berharap mendengar lelaki itu melawan. Alih- alih memarahi balik, dia hanya berucap pelan sekali. “ Maaf, Dena….tadi saya dipanggil bos dulu.” balasnya pelan. “Aduuuuh, baik sekali lelaki ini.” Gumamku lagi. Ingin rasanya mengajukan diri sebagai relawan yang siap maju melawan si nenek sihir. Menurut tebakanku, Aryo pastilah orang terpelajar. Sikapnya santun, kalem dan tidak meledak-ledak. Sama sekali berbeda dengan si pengoceh itu.

“Maaf…maaf….palalu….”….hardik si nenek, eh maksudnya Dena, dengan suara yang makin menggelegar laksana diva. Busyetttt dah, kalo Agnes Monica berkomentar pasti dia bilang gini , “Dena, lebar sekali range vocal kamu itu, good job…” Atau kalau Rianti Cartwright yang jadi jurinya pasti berujar, ” I like it…”
Setengah jam berlalu, sang wanita akhirnya pergi menuju pangkalan becak di ujung jalan tadi. Suara semi-heellnya berdetak-detak, persis irama marahnya yang naik turun.

Kuhampiri lelaki itu. Dengan sedikit modal SKSD, aku iseng-iseng bertanya, “Mas, belum pulang?”. Jujur, aku tidak banyak berharap dia sudi menjawab pertanyaan orang asing macam aku. Tanpa disangka-sangka, dia bergumam pelan.

“Dia selalu begitu, sudah hampir 3 tahun lamanya. …Kurang apa aku ini, tiap hari kuantar jemput dia, hujan deras pun aku memaksakan diri menemuinya. Tapi selalu saja apa yang aku lakukan itu salah…”

Aku tertegun, bukan karena jawabannya yang tidak nyambung sama sekali. Tapi karena dia curhat di emperan toko pada orang asing. Sebetulnya ingin kuberitahu dia, kalau curhat di emperan itu sangat tidak elegan. Melihatnya bersedih, akhirnya kuurungkan niat itu.

Aryo terus mengungkap penderitaanya. Bicaranya sangat lancar seperti penyiar radio. Mendengar ceritanya, aku seperti melihat diriku 3 tahun lalu ketika aku berada persis pada posisi dia. Tak terasa air mata telah mencoreng moreng bedak Viva-ku. Tapi aku sama sekali tak peduli, karena gelap pasti menyembunyikan muka ronggengku.
Sontak, entah apa yang merasukiku saat itu. Aku berdiri di depan Aryo, kupegang erat kedua pundaknya,kuyakinkan matanya menatap 2 bola mataku yang makin melebar.

“Kamu tau, Aryo… Kamu jangan hanya diam. Kamu bukan kacungnya kan?  Dia juga bukan ibumu, bapamu ato kepala sekolah kamu. Jadi jangan berpikiran kamu selalu wajib tunduk pada dia. Aku tau rasanya dimarahi, diatur, dibentak-bentak. Tapi aku bisa melawan. Jangan mau diatur-atur. Kamu itu pasti makhluk Tuhan yang paling lembut. Tapi jangan jadikan itu alasan untuk terus diam,
“KAMU BUKAN KESET, ARYO…..” KAMU BUKAN BENDA YANG BISA DIINJAK-INJAK ORANG RATUSAN KALI.”

Kulihat dia tertunduk semakin dalam. Aku pun beranjak pergi bersama luka yang sama. Luka yang 3 tahun lalu aku coba buang di kota ini.

“Aryo, you’re not a *doormat……...Nor I.”


Note: *doormat = keset

Tercipta ketika Bintangku terhalang Jelaga.

1 comment: