Malam itu, aku pulang menyusuri Jl. Malioboro yang temaram nan  kusut.  Kulihat beberapa tukang becak  masih bertahan di pinggiran toko souvenir. Miris rasanya, melihat wajah legamnya berkilauan oleh peluh. Lampu billboard  sesekali memantulkan tetes keringatnya yang berguliran bak kristal.  Angin perlahan menebarkan aroma apek handuk leher andalan mereka.  Biarpun rumor yang beredar mereka terkenal suka menjebak pelancong dari  luar kota dengan membawanya berputar-putar lalu meminta bayaran double, melihatnya sekarang, aku sangat bisa memaklumimya.
Pada  sudut jalan yang lain, satu-satunya penjual koin antik tengah  mengipas-ngipaskan beberapa lembar uang ribuan yang sudah dekil karena  dihitung berulang kali. Ia tampak tersenyum bahagia, giginya yang  tanggal sangat jelas terexposed. Seksi sekali. Aku jadi ingin  menafsirkan senyumnya. Barangkali begini makna senyuman mautnya itu,  “Alhamdulillaaah, aku masih bisa membelikan cucuku permen sugus  kesukaannya” Ah, sederhana sekali dia. Tapi sungguh, dia sangat  bersyukur.
Tak terasa, aku sudah melewati lebih dari  belasan ruko yang tengah lelap beristirahat. Penat mulai mengunjungiku  kepalaku. “Sialan, sebentar lagi migren mengetuk-ngetuk pintu syarafku.”  gumamku pelan sekali.   Kupijit-pijit dahiku, berharap migren  mengurungkan niatnya berkunjung. Sudah muak rasanya menjadi pribumi  tetapnya. Hari pertama menjadi penjaga toko batik tulis sungguh  membuatku lelah setengah mati. Bukan karena banyaknya pelanggan yang  harus aku layani, tapi karena teriakan bosku yang separuhnya tak ku  pahami sedikitpun. Maklum saja, dia hanya paham bahasa Jawa. Begitu kata  senior-seniorku.
Masuk ke pertigaan Jalan Ahmad Yani No.  9. , seberang Toko Batik Mirota, hujan mulai turun perlahan-lahan.  Seperti biasa, mereka selalu datang keroyokan. Aku mempercepat langkahku  menuju ujung toko berterpal lebar. Semakin dekat dengan toko itu, sayup  sayup  kudengar suara tinggi seorang wanita. Dari nadanya, dia tengah  memarahi seseorang. Penasaran. Kucari sumber suara, tak dinyana, seorang  wanita seusiaku tengah mengacung-ngacungkan jarinya yang sebagian besar  kuteknya pudar. Sedang berkampanyekah dia? Tentu saja bukan. Dia tengah  memarahi habis-habisan seorang pria TUNADAYA. Jemarinya menunjuk-nunjuk  langit, meski sebenarnya dia tengah mencaci penghuni bumi.  
“Kasian, pria itu,…..” bisikku pelan sekali.
Kugigit  kuku jempolku kuat-kuat. Ingin sekali menolong lelaki itu. Tapi aku  hanya bisa mengendap-endap di balik kardus bekas pedagang manisan asong.
“Aryo,…..tau  kamu, ini jam berapa?.....telat 1 jam kamu jemput aku… Lihat…gara-gara  kamu kelamaan, jadinya hujan…lama lagi nunggu redanya…Mau pulang jam  berapa aku,….udah ngantuk tau..ogah tiduran di emper, kaya gembel….”  teriak sang wanita. Hebat sekali dia, suaranya lantang seperti Pak  Karno, padanan katanya sangat bombastis seperti komentator bola. Mungkin  , kalau dia ikut pencarian bakat, dia dipastikan mendapat piala sebagai  Juara Umum Pengoceh Ulung.
Tak terasa, aura komentatornya  sekejap menulariku. “Uuuuh…galak sekali dia,…..tapi agak bodoh juga si,   masa hujan disebabkan oleh telat jemput, oleh kondensasi awan ,tau.  Awan Cumuliform lebih tepatnya.Gini-gini juga, nilai IPA ku 9 terus,  meski yang lainnya 6 kebawah.” Kurapatkan telingaku, berharap mendengar  lelaki itu melawan. Alih- alih memarahi balik, dia hanya berucap pelan  sekali. “ Maaf, Dena….tadi saya dipanggil bos dulu.” balasnya pelan.  “Aduuuuh, baik sekali lelaki ini.” Gumamku lagi. Ingin rasanya  mengajukan diri sebagai relawan yang siap maju melawan si nenek sihir.  Menurut tebakanku, Aryo pastilah orang terpelajar. Sikapnya santun,  kalem dan tidak meledak-ledak. Sama sekali berbeda dengan si pengoceh  itu.
“Maaf…maaf….palalu….”….hardik si nenek, eh maksudnya  Dena, dengan suara yang makin menggelegar laksana diva. Busyetttt dah,  kalo Agnes Monica berkomentar pasti dia bilang gini , “Dena, lebar  sekali range vocal kamu itu, good job…” Atau kalau Rianti Cartwright yang jadi jurinya pasti berujar, ” I like it…”
Setengah jam berlalu, sang wanita akhirnya pergi menuju pangkalan becak di ujung jalan tadi. Suara semi-heellnya berdetak-detak, persis irama marahnya yang naik turun.
Kuhampiri  lelaki itu. Dengan sedikit modal SKSD, aku iseng-iseng bertanya, “Mas,  belum pulang?”. Jujur, aku tidak banyak berharap dia sudi menjawab  pertanyaan orang asing macam aku. Tanpa disangka-sangka, dia bergumam  pelan.
“Dia selalu begitu, sudah hampir 3 tahun lamanya.  …Kurang apa aku ini, tiap hari kuantar jemput dia, hujan deras pun aku  memaksakan diri menemuinya. Tapi selalu saja apa yang aku lakukan itu  salah…”
Aku tertegun, bukan karena jawabannya yang tidak  nyambung sama sekali. Tapi karena dia curhat di emperan toko pada orang  asing. Sebetulnya ingin kuberitahu dia, kalau curhat di emperan itu  sangat tidak elegan. Melihatnya bersedih, akhirnya kuurungkan niat itu.
Aryo  terus mengungkap penderitaanya. Bicaranya sangat lancar seperti penyiar  radio. Mendengar ceritanya, aku seperti melihat diriku 3 tahun lalu  ketika aku berada persis pada posisi dia. Tak terasa air mata telah  mencoreng moreng bedak Viva-ku. Tapi aku sama sekali tak peduli, karena  gelap pasti menyembunyikan muka ronggengku.
Sontak, entah apa yang  merasukiku saat itu. Aku berdiri di depan Aryo, kupegang erat kedua  pundaknya,kuyakinkan matanya menatap 2 bola mataku yang makin melebar.
“Kamu  tau, Aryo… Kamu jangan hanya diam. Kamu bukan kacungnya kan?  Dia juga  bukan ibumu, bapamu ato kepala sekolah kamu. Jadi jangan berpikiran kamu  selalu wajib tunduk pada dia. Aku tau rasanya dimarahi, diatur,  dibentak-bentak. Tapi aku bisa melawan. Jangan mau diatur-atur. Kamu itu  pasti makhluk Tuhan yang paling lembut. Tapi jangan jadikan itu alasan  untuk terus diam,
“KAMU BUKAN KESET, ARYO…..” KAMU BUKAN BENDA YANG BISA DIINJAK-INJAK ORANG RATUSAN KALI.”
Kulihat  dia tertunduk semakin dalam. Aku pun beranjak pergi bersama luka yang  sama. Luka yang 3 tahun lalu aku coba buang di kota ini.
“Aryo, you’re not a *doormat……...Nor I.”
Note: *doormat = keset
Tercipta ketika Bintangku terhalang Jelaga.
tes tes...
ReplyDelete